Perempuan Hebat di Balik Sosok Tuan Guru H. Ismail Khatib


Tuan Guru Haji Ismail Khatib

Oleh: Muhammad Bulkini

“Di balik kesuksesan seorang pria, ada peran wanita hebat di belakangnya”. Kalimat ini kerap dikutip untuk menunjukkan peran wanita dalam kesuksesan laki-laki. Kalimat itu ternyata juga berlaku pada kehidupan Tuan Guru H. Ismail Khatib; guru dari banyak ulama Martapura di zamannya.

Tuan Guru Ismail Khatib diketahui hanya memiliki satu istri. Namun peran wanita tersebut bisa dikatakan mengalahkan empat istri orang lain. Wanita itu tidak hanya kuat menahan diri ketika ditinggalkan sang suami menuntut ilmu ke Tanah Suci. Bahkan disebutkan, dia memiliki andil besar atas kesuksesan sang suami dalam menuntut ilmu.

Perempuan itu bernama Aisyah bin Abdurrahman, seorang wanita Serawak, Malaysia. Tuan Guru Ismail (ketika berusia 24 tahun) bertemu dengannya ketika mengiringi sang paman, Tuan Guru Ali Junaidi bin Muhammad Amin berdakwah di sana. Pernikahan mereka berlangsung pada 14 Rabiul Awal 1304 H.

Enam tahun berselang, Tuan Guru Ismail melanjutkan menuntut ilmu ke Tanah Suci pada 1310 H. Dalam catatan disebutkan, beliau menghabiskan waktu kurang lebih 10 tahun (dalam perhitungan hijriyah) di sana.

“Selama kakek mengaji di Tanah Suci, nenek Aisyah-lah yang meongkosi,” ujar Hj Hilmah binti Tuan Guru H. Abdurrahman Ismail, saat penulis bertamu ke rumah beliau di Jalan Sekumpul pada Minggu (5/5) malam.

Nenek Aisyah, kata Hj. Hilmah, memiliki kecakapan dalam berdagang. Dia disebut piawai dalam membuat kue. Kue yang dibuatnya diekspor ke Singapura. “Bahan-bahan kue yang digunakan beliau adalah bahan yang tidak mudah basi. Tidak pakai santan,” ucapnya.

Sepulang dari Tanah Suci, Tuan Guru H. Ismail Khatib menemui istrinya di Serawak pada tahun 1320 H. Kurang lebih setahun di sana (1321 H), beliau kemudian mengajak Sang Istri pulang ke kampung halaman, Dalam Pagar, Martapura.

Di kampung halaman, nenek Aisyah selalu setia mendampingi sang suami dalam mengemban amanah sebagai ahli ilmu, yang menjadi rujukan masyarakat dalam menimba ilmu agama.

Rumah mereka menjadi saksi banyaknya santri yang menuntut ilmu. Di antara santri yang kemudian menjadi ulama besar; Tuan Guru H. Kasyful Anwar (pembaharu Pondok Pesantren. Darussalam), Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arief (muhaddits dan mufassir), Tuan Guru Haji Muhammad Seman Mulia (paman Abah Guru Sakumpul) dan tentunya Tuan Guru H. Abdurrahman putra mereka (jebolan Madrasah Shaulatiyah, Makkah).

Tuan Guru H. Ismail Khatib wafat pada Ahad, malam Senin tengah malam tanggal 7 Dzulqaidah 1366H/22 September 1946 M dan dimakamkan di kampung Dalam Pagar.

Sementara jenazah Nenek Aisyah dimakamkan di lingkungan keluarga Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kalampayan. Makam beliau berdekatan dengan Tuan Guru H. Muhammad Afif atau yang lebih dikenal dengan Datu Landak.(*)

Posting Komentar

0 Komentar