Oleh: Muhammad Bulkini
Lama tak mengecek chat facebook, saya dikejutkan dengan satu pesan dari akun bergambar seorang ulama dengan lilitan serban mirip yang dipakai Abah Guru Sekumpul.
Pesan itu sudah menggantung tanpa jawaban selama kurang lebih 4 hari. Saat membaca pesan itu, saya berpikir: Jika ini benar sang ulama sesuai dengan foto profil, maka saya akan sangat malu sekali karena tak lekas menjawab pesan beliau. Tapi jika ini adalah akun palsu, maka saya sudah menebak apa motif di belakang pesan itu.
Setelah saya jawab pesan itu, pelan-pelan pertanyaan di kepala saya terjawab. Pemilik akun tersebut ternyata benar sang ulama yang dikenal dengan KH. Muhammad Anshary El Kariem atau Guru Anshary Binuang.
Penulis buku biografi Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani ini mengajak saya bertemu, beliau ingin sharing tentang dunia kepenulisan. Tentu saja, ajakan itu saya sambut dengan senang hati.
Entah ada magnet apa antara kami berdua, hari Sabtu bertukar pesan, Minggu pagi kami dipertemukan. Guru Anshary sebenarnya menuju Kapuas untuk mengisi beberapa majelis rutinan di sana, namun beliau singgah sebentar di Martapura untuk menghadiri acara pengantin keponakan Tuan Guru Tarhib bin Tuan Guru H. Abdus Syukur (Ayah).
Sementara saya datang dari arah berlawanan, Kertak Hanyar menuju Astambul, untuk menghadiri acara pengantinan putri guru kami, Guru H. Abdul Muin (teman sekelas Tuan Guru H. Ahmad Bakeri di Darussalam).
Kami akhirnya bersepakat memilih titik temu di sebuah warung di kawasan Antasan, Martapura. Pada pertemuan itu, Guru Anshary banyak bercerita, termasuk bagaimana beliau bisa menulis biografi Abah Guru Sekumpul.
"Dulu kami bertamu ke rumah Abah Guru Sekumpul satu rombongan. Karena Abahku (Guru H. Muhammad Ideram) adalah salah satu teman sekelas beliau ketika sekolah di Darussalam," ujar Guru Anshary.
Satu rombongan ini, sambung Guru Anshary, diajak masuk ke dalam kamar pribadi Abah Guru Sekumpul. Setelah cukup lama berbincang, Abah Guru mempersilakan rombongan ini untuk keluar mencicipi hidangan yang sudah disediakan.
"Nah, pada saat itu, aku tidak langsung keluar. Aku bepadah lawan Guru, ada yang handak dipandir. Di antaranya, aku minta izin membaca maulid dan meminta izin membukukan riwayat hidup beliau," kata Guru Anshary.
Riwayat hidup Abah Guru yang kemudian dijadikan buku, menurut Guru Anshary adalah hasil dari catatan pribadi beliau selama ikut hadir di majelis dan bertamu ke rumah Abah Guru, sejak di Keraton hingga di Sekumpul.
Ketika saya tanya soal adakah nada minor saat ia meluncurkan buku tersebut, Guru Anshary mengakuinya. Namun, beliau tidak menanggapinya sama sekali.
"Untuk apa juga. Saya sudah izin dengan beliau berduaan. Jadi kalau ada yang meragukan, ya sah-sah saja. Karena mereka tidak ada di sana," tutur Guru Anshary.
Lagi pula, kata beliau, hasil penjualannya juga untuk pesantren.
Singkat cerita, kami kemudian barter; Guru Anshary menghadiahkan dua buku tulisan beliau, dan saya pun menghadiahkan dua tulisan saya. Sebelum berfoto; kami saling membubuhkan tanda tangan di atasnya.
"Ini pertemuan jilid satu," kata beliau, "Nanti kita jadwalkan jilid duanya. Dan benar, berselang satu hari, kami kembali bertemu. Dan beliau kembali berujar, "Nanti ada jilid tiganya."
Terimakasih guru. Terimakasih Abah Guru, terimakasih Abah Haji, berkat pian-pian, ulun dipertemukan dengan mereka-mereka yang mengabdi di jalur ini.(*)
0 Komentar