Malin Kundang telah terkutuk, dan selama berabad lamanya, tak ada yang peduli soal itu. Jika pun ceritanya diulang, orang-orang hanya mengutuk tingkah laku si pemuda yang tak lagi "mengenali” ibunya tersebut. Tapi, seandainya cerita legenda itu ditelaah ulang, Malin bukanlah satu-satunya orang yang patut disalahkan.
Pada sebuah majelis yang diasuh oleh Tuan Guru H Ahmad Zuhdiannoor, saya mendapatkan pencerahan baru dari cerita itu. Abah Haji –akrab beliau disapa- menyoroti sisi berbeda dari cerita melegenda atau legenda yang diceritakan tersebut. Beliau melihat dari sudut pandang orangtua yang mendidik anaknya.
“Cerita Malin Kundang bukan hanya menunjukkan betapa durhakanya anak itu, tetapi betapa tidak penyabarnya sang ibu,” ucap Abah Haji.
Glek. Saya terperanjat. Cerita itu saya hapal betul sejak lama. Kenapa saya tidak mendapat pencerahan ini sebelumnya?
“Dengan si ibu yang mengutuk anaknya itu, Setan begitu gembira, karena cita-citanya menjerumuskan umat manusia terpenuhi,” kata Abah Haji lagi.
Cerita itu, menurut beliau, hendaknya menjadi pelajaran bagi para orangtua agar sabar mendidik anak. Zaman orangtua dulu sangat berbeda dengan zaman anak sekarang. Bimbingan harus tetap dijalankan, tetapi doa dan penyerahan kepada Tuhan jangan sampai ditinggalkan.
“Anak nakal, bimbing mereka dan doakan. Jangan sampai cerita Malin Kundang kembali terulang.”
***
Penjelasan Abah Haji tentu saja tidak terbatas pada orangtua, hal itu juga berlaku pada para pendidik di sekolah. Kesalahan anak memang tak patut dibenarkan, tapi bagaimana caranya agar kesalahan itu tidak berulang.
Sumpah serapah bukan jalan keluar yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Dia bukan solusi yang layak diambil sebagai seorang pendidik. Kedurhakan anak atau murid tidak membuat orangtua dan pendidik merasa benar atau bertepuk dada. Apalagi berujar, “Lihat orang yang durhaka kepadaku kini menjadi batu!”
Justru kedurhakaan si anak menunjukkan kegagalannya sebagai pembimbing. Maka itu, kesabaran bagian penting yang harus dimiliki seorang pendidik.
Kesabaran layaknya air hujan yang lembut, menetes pelan pada permukaan batu. Setetes demi setetes. Kita sudah tahu akhir permisalan itu, batu akan berlubang. Dan semoga di dalamnya, kita tak lagi menemukan seorang pemuda miskin mendadak kaya yang kurang ajar dengan ibunya.
*) Tulisan ini pertama kali terbit di banua.co
0 Komentar